Dosen Fiqh Jinayah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr Isnawati Rais menegaskan, hukuman berdasarkan hukum Islam terhadap pelaku zina lebih memiliki efek jera dibanding hukuman berdasarkan KUHP.
Hal ini dikatakannya di Jakarta, Senin (28/9), terkait telah disahkannya qanun jinayah dan qanun acara jinayah di Aceh oleh DPR Aceh, Senin awal pekan lalu. Dalam qanun tersebut terdapat aturan hukuman cambuk seratus kali dan hukuman rajam bagi pezina yang telah menikah.
Dalam KUHP pasal 284, dia membandingkan, hukuman bagi pelaku zina sangat ringan, hanya 9 bulan. Di samping itu, defenisi zina juga berbeda antara hukum Islam dengan KUHP. “Dalam KUHP, yang disebut zina hanya bagi pelaku yang telah bersuami atau beristri,” katanya.
Sementara dalam Islam, siapa pun yang melakukan hubungan badan di luar nikah adalah zina, walaupun berbeda hukumannya. Bagi yang belum bersuami/istri dicambuk seratus kali, dan bagi yang bersuami/istri dirajam sampai mati.
Pelaksanaanya pun harus di muka umum, katanya menjelaskan. “Ini betul-betul pasti membuat jera.”
Dari itu, dia mendukung penerapan qanun jinayah tersebut. Akan tetapi dia mengingatkan, dalam pelaksanannya harus betul-betul sesuai dengan syariat Islam, terutama menyangkut pembuktian. Jangan sampai orang yang tidak cukup bukti kena jeratan hukum.
Dia mengungkapkan, pembuktian zina harus ada kesaksian dari 4 orang saksi, adanya pengakuan dari pelaku, atau ada indikasi seseorang telah berbuat zina. Keempat orang saksi tersebut, dia menjelaskan, harus betul-betul menyaksikan keduanya berbuat zina.
Sementara terkait indikasi, dia mencontohkan seorang yang tidak bersuami tapi mengalami kehamilan. Ini indikasi zina, dari itu harus ada penyelidikan lebih lanjut, paparnya. Kalau pembuktian tersebut tidak lengkap, hukumannya berupa tazir (penjara).
Menurutnya, penerapan hukum qanun tersebut sangat tepat untuk mencegah sikap permisif di masyarakat. Dia menampik jika cambuk dan rajam disebut melanggar HAM. Hukuman ini justru sebagai sarana mencegah rusaknya keturunan karena perbuatan zina, tukasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang Hamdan Zoelva mengakui bahwa dari keseluruhan hukum Islam, aspek jinayah yang paling sulit diterima masyarakat. Hukum jinayah dinilai hukumannya terlalu berat: cambuk, rajam, qishash, dan potong tangan. Padahal ini merupakan hukuman maksimal.
Politisi muda yang juga seorang pengacara ini menjelaskan ,jika hukum jinayah diterapkan di Indonesia akan mengirit pengeluaran negara. Karena hanya sebagian kecil hukum jinayah yang menggunakan penjara sebagai hukuman. Berbeda dengan hukum pidana, hukuman utamanya penjara di samping hukuman mati.
Di dalam hukum jinayah, terangnya, seorang yang dinyatakan bersalah langsung dihukum. Jika mencuri tangannya dipotong, berzina akan dirajam, sementara aksi pembunuhan akan di-qishash. Proses hukumnya sederhana dan langsung, pungkasnya. [Hidayatullah]
Hal ini dikatakannya di Jakarta, Senin (28/9), terkait telah disahkannya qanun jinayah dan qanun acara jinayah di Aceh oleh DPR Aceh, Senin awal pekan lalu. Dalam qanun tersebut terdapat aturan hukuman cambuk seratus kali dan hukuman rajam bagi pezina yang telah menikah.
Dalam KUHP pasal 284, dia membandingkan, hukuman bagi pelaku zina sangat ringan, hanya 9 bulan. Di samping itu, defenisi zina juga berbeda antara hukum Islam dengan KUHP. “Dalam KUHP, yang disebut zina hanya bagi pelaku yang telah bersuami atau beristri,” katanya.
Sementara dalam Islam, siapa pun yang melakukan hubungan badan di luar nikah adalah zina, walaupun berbeda hukumannya. Bagi yang belum bersuami/istri dicambuk seratus kali, dan bagi yang bersuami/istri dirajam sampai mati.
Pelaksanaanya pun harus di muka umum, katanya menjelaskan. “Ini betul-betul pasti membuat jera.”
Dari itu, dia mendukung penerapan qanun jinayah tersebut. Akan tetapi dia mengingatkan, dalam pelaksanannya harus betul-betul sesuai dengan syariat Islam, terutama menyangkut pembuktian. Jangan sampai orang yang tidak cukup bukti kena jeratan hukum.
Dia mengungkapkan, pembuktian zina harus ada kesaksian dari 4 orang saksi, adanya pengakuan dari pelaku, atau ada indikasi seseorang telah berbuat zina. Keempat orang saksi tersebut, dia menjelaskan, harus betul-betul menyaksikan keduanya berbuat zina.
Sementara terkait indikasi, dia mencontohkan seorang yang tidak bersuami tapi mengalami kehamilan. Ini indikasi zina, dari itu harus ada penyelidikan lebih lanjut, paparnya. Kalau pembuktian tersebut tidak lengkap, hukumannya berupa tazir (penjara).
Menurutnya, penerapan hukum qanun tersebut sangat tepat untuk mencegah sikap permisif di masyarakat. Dia menampik jika cambuk dan rajam disebut melanggar HAM. Hukuman ini justru sebagai sarana mencegah rusaknya keturunan karena perbuatan zina, tukasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang Hamdan Zoelva mengakui bahwa dari keseluruhan hukum Islam, aspek jinayah yang paling sulit diterima masyarakat. Hukum jinayah dinilai hukumannya terlalu berat: cambuk, rajam, qishash, dan potong tangan. Padahal ini merupakan hukuman maksimal.
Politisi muda yang juga seorang pengacara ini menjelaskan ,jika hukum jinayah diterapkan di Indonesia akan mengirit pengeluaran negara. Karena hanya sebagian kecil hukum jinayah yang menggunakan penjara sebagai hukuman. Berbeda dengan hukum pidana, hukuman utamanya penjara di samping hukuman mati.
Di dalam hukum jinayah, terangnya, seorang yang dinyatakan bersalah langsung dihukum. Jika mencuri tangannya dipotong, berzina akan dirajam, sementara aksi pembunuhan akan di-qishash. Proses hukumnya sederhana dan langsung, pungkasnya. [Hidayatullah]
on 2 Oktober 2009 pukul 11.34
Makanya negera/daerah yang menerapkanya aman sentosa, maju, makmur, bebas korupsi.
Wakakakakaka...................
Lutu kali
Kok sering kali kalian buat tulisan seperti ini? Saya rasa yang diperlukan bukan tulisan-tulisan seperti ini. Bukan klaim-klaim yang tanpa bukti. Tapi yang dilihat orang adalah bukti nyata, keadaan masyarakat yang menerapkannya udah gimana?
Posting Komentar