Copenhagen - Lembaga Transparansi Internasional kemarin mengumumkan Denmark merupakan negara paling bersih dari korupsi. Kesimpulan itu berdasarkan laporan tahunan organisasi nonpemerintah yang giat memerangi korupsi tersebut setelah menggelar survei di 180 negara. Ini adalah tahun kedua secara berturut-turut Denmark menyandang predikat itu.
Menurut data statistik pada Indeks Persepsi Korupsi (CPI), selain Denmark, Swedia dan Selandia Baru merupakan negara yang pantas menyandang predikat "bebas korupsi" tahun ini. Sementara Denmark berada di peringkat teratas (paling bersih), Somalia berada di peringkat terbawah (paling korup) dari 180 negara yang disurvei.
Selain Somalia, cap paling korup dialamatkan kepada Afganistan, Haiti, Irak, dan Burma. "Sangat ekstrem," demikian diungkapkan dalam laporan tahunan Transparansi Internasional. Laporan Transparansi Internasional juga mencatat bahwa selama 2008 ada sekitar 17 kasus suap internasional--dari 21 kasus pada 2007--di Denmark.
Salah satunya adalah kasus suap pada program minyak untuk pangan (oil for food) di Irak, yang melibatkan tujuh perusahaan asal Denmark. Masih menurut lembaga yang lahir di Jerman ini, penyuapan, kartel-kartel yang menerapkan harga sewenang-wenang, dan kebijakan publik yang tak semestinya menciptakan kompetensi bisnis yang tak adil.
"Korupsi menjadi bagian dari kehidupan di seantero dunia," demikian dikatakan Transparansi Internasional. "Alhasil, merugikan perekonomian global hingga miliaran dolar Amerika Serikat saban tahun." Laporan terbaru itu juga menyebut konsumen di seluruh dunia membayar kelewat mahal sekitar US$ 300 miliar di hampir 300 kartel swasta internasional (1990-2005).
"Sekitar 20 persen perusahaan mengatakan mengalami kekalahan lantaran perusahaan pesaing mereka memberi uang semir," demikian disebutkan dalam Laporan Korupsi Dunia 2009 seperti dikutip harian Australia The Age. "Skala dan cakupan suap dalam bisnis kian mengejutkan." Itu belum seberapa.
Kalau ditotal, saban tahun, di sejumlah negara berkembang, politikus dan pejabat yang korup menerima upeti hingga US$ 20 miliar dan US$ 40 miliar. Belum lagi korupsi di dalam tubuh perusahaan itu sendiri, yang berujung pada ancaman performa dan akuntabilitas perusahaan tersebut. Transparansi mengaitkan hal ini dengan kolapsnya Wall Street.
"Perusahaan-perusahaan yang mengabaikan korupsi dan etika tak hanya akan kehilangan uang, tapi juga reputasi," kata pakar manajemen dari Universitas Melbourne, Howard Dick, mewanti-wanti. "Uang bisa diganti, tapi nama baik sulit dipulihkan kembali." Lantaran itulah, sejak 1999 Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan menyerukan digalangnya konvensi antikorupsi.
Organisasi itu berharap konvensi antikorupsi bisa mencegah suap di kalangan pejabat-pejabat manakala terlibat negosiasi bisnis dengan perusahaan asing. Masih ingat skandal Al-Yamamah pada 2006 saat terjadi transaksi senjata militer multimiliar dolar antara Arab Saudi dan Inggris yang berujung pada penyelidikan dugaan korupsi.
Berdasarkan penelusuran Transparansi, terdapat 103 kasus suap yang melibatkan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat, lebih dari 40 kasus di perusahaan Jerman, serta 19 kasus di perusahaan Prancis dan satu perusahaan Inggris. Adapun perusahaan-perusahaan India, Cina, dan Brasil, menurut Transparansi, adalah yang paling korup saat negosiasi bisnis di luar negeri.(Tempo)
Posting Komentar